Tuhan, Mari Ber-nego

Kepada Tuhan yang Maha Menyatukan.

Aku tidak begitu mengerti tentang cinta yang kadaluarsa, yang aku tahu aku sudah begitu merasa sempurna. Mungkin aku terlalu sombong hingga mengabaikan pelik yang pasti terjadi.

Menjadi yang paling kecil diantara yang telah dewasa, aku menjalani semuanya secara santai bahkan mungkin cenderung abai; aku mengaminkan itu. Tapi selayaknya kecil yang cenderung labil, aku menganggap segalanya tak ada cacat. Aku mengagungkan milikku tanpa (mungkin) tahu bahwa terdapat pilu.

Sempat memang aku merasa terbelah karena nyatanya bukan hanya satu kepala. Tapi ya begitu saja, aku rasa wajar. Isi kepala kan memang sejatinya tak selalu sama satu dengan lainnya. Namun malam tadi aku merasa bukan lagi terbelah; wajar-wajar yang kubiarkan ternyata menjelma bom besar yang siap meledakkan aku. Aku terendam pilu semalaman.

Pondasi yang kusangka kokoh ternyata telah terdapati celah di mana-mana. Temboknya retak, atapnya bocor, kusennya keropos.
Aku dengar terdapat rayap yang tidak kuketahui namanya telah menggerogotinya. Aku tak tahu benar bagaimana rayap itu datang, tapi yang aku dengar lagi katanya ia diundang. Ah bangsat ! ; Tuhan, maafkan bila aku berujar kasar.

Hujan pilu telah mengguyurku tanpa ba-bi-bu. Terlebih seharian ini aku merasa ditampar media yang mewartakan pelbagai hal tentang yang ku takutkan.

Tuhan, apa begitu salah bila aku merasa hebat ? Setidaknya aku tak merasa hebat atas diriku. Aku hebat karena pondasi, atap serta kusen yang serupa pelukanMu; tebal dan kekal. Aku merasa ada karena mereka sempurna.

Tuhan, bisakah kita bernego ? Aku tak siap bila harus berujung pada porak poranda. Maka, bisakah Kau mematikan rayapnya ? Kau kan yang paling Mahakuasa. Atau bila tidak bisa, biar aku saja yang mematikannya, tapi jangan Kau suruh Atid mencatatnya sebagai dosa. Bagaimana ?
Setidaknya bila rayap itu telah mati aku dapat menambalnya meski tetap meninggalkan belang.

Rasanya belang akan lebih baik dari pada terkurang.

Ah ! Mungkin warasku mulai tak nyaman Tuhan. Maafkan. Aku sesak mendapati tamanku tak lagi berkambang, ia telah begitu gersang. Dapatkah Kau suburkannya kembali ? Biar kembang dan kumbang bisa saling bahagia lagi. Bisakah ? Tolong.

Kepada Tuhan yang Maha Menyatukan, sekali lagi aku meminta maaf. Aku tak bermaksud berburuk sangka atas takdir atau nasib yang Kau berikan. Aku hanya sedang dilanda cemas.

Tuhan, terima kasih atas Kuasamu yang tak ada habisnya.

Tertanda

Anak yang sayang pada Ibu Bapaknya
Pojokan kamar, 5 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Tuhan, Mari Ber-nego"

Posting Komentar