Apa
yang kau ketahui belum tentu dapat kau pahami, terlebih untuk dimengerti.
--
“Kata Joko, maghrib tadi ia melihat
ada yang lari ke arah alas milik Mbah Ngasidi, Pak Lurah. Mungkin itu Tego.”
Ujar Tanto, salah satu hansip Desa Nganyaman.
Kehebohan
kini tengah menjalar di seluruh pelosok Desa Nganyaman. Desa yang terletek di lereng
Gunung Kidang ini digemparkan oleh kabar bahwa salah satu pemudanya menghilang
kaena sesuatu yang berhubungan dengan hal makhluk halus. Desa Nganyaman
memanglah masih kental akan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat mistis.
Seluruh warga sebagian besar masih memegang erat kepercayaan nenek moyang
tersebut.
Tego,
pemuda yang dikabarkan menghilang tersebut membuat resah masyarakat Desa
Nganyaman karena ia tak hanya sekadar tanpa kabar, namun banyak saksi yang
mengatakan bahwa tak jarang mereka melihat sesosok pemuda yang berlari-lari
seolah dalam kejaran ke arah alas. Hal ini menimbulkan banyak persepsi yang muncul
dari warga seperti, Tego sebenarnya tidak menghilang Ia tetap berada di Desa Nganyaman tetapi kini
Ia menetap di alas karena suruhan makhluk halus. Pesepsi lain mengatakan bahwa
Tego kini menjadi frustasi karena pesugihannya gagal sebab Ia melanggar pantangan-pantangan
dan kemudian Ia kini dikejar-kejar makhluk halus karena mereka yang tak terima dengan
ulah Tego. Versi lain lagi mengatakan bahwa Tego yang memang merupakan pemuda
dengan paras tampan ini ditaksir oleh jin penguasa Gunung Kidang, maka Ia
dibuat agar meninggalkan dunia nyatanya agar dapat bersanding dengan jin
penguasa Gunung Kidang. Hingga berkembanglah cerita mengenai Tego ini dalam
banyak versi dan seluruhnya tak jauh dari hal ghaib.
***
Hati
istri mana yang tak kalang kabut bila ditinggal suami tanpa kabar dan berita
dalam keadaan bunting besar. Begitulah yang sedang dialami Sanah, perempuan
yang baru delapan bulan lalu disunting oleh Tego, pemuda tampan namun serabutan
tak jelas pekerjaannya.
Sanah
merupakan salah satu kembang desa yang banyak digandrungi pemuda-pemuda bahkan
sampai desa seberang. Ia memiliki kecantikan yang alami, matanya indah dengan
bulu mata melengkung sempurna, rambutnya menggelombang panjang bagai tempat
bergelantungan para malaikat, kulitnya putih bersih tak kalah dengan kulit
bintang teve yang sering menjamah salon, tubuhnya ramping dan tinggi semampai
serupa model kelas internasional.
Meskipun
banyak yang menginginkannya untuk dijadikan istri namun hatinya hanyalah
tertambat pada satu pemuda yang pekerja keras meskipun pekerjaannya kurang
jelas, ia hanyalah seorang serabutan, tak pernah mengenyam bangku sekolah
bahkan baca tulis pun tak bisa. Namun menurut Sanah pemuda itu sempurna dengan
ketidasempurnaannya. Terlebih lagi Ia adalah pemuda tampan dengan alis tebal
dan garis rahang yang tegas. Begitulah Tego dimata Sanah si kembang desa. Cukup
lama mereka berdua memadu kasih hingga pada akhirnya tepat pada purnama bulan
suro mereka mereka resmi menjadi sepasang yang memiliki legalitas dari negara
yang tercetak dalam bentuk buku pernikahan.
Dalam
kurun waktu setahun mereka menjadi pasangan legal tak pernah sekalipun mereka
cekcok besar. Keadaan seolah mendukung mereka untuk selalu berbahagia.
Kehidupan mereka berjalan normal. Hingga tiba Sanah mengandung kebahagiaan
mereka semakin bertambah. Sanah semakin merasa dicintai oleh Tego, apapun
keinginan ngidam Sanah akan dipenuhi oleh Tego. Namun hal indah itu hanya
berlangsung sekjap saja. Kini sudah seminggu suaminya tanpa kabar. Terakhir
kali Sanah bertemu suaminya adalah saat kamis malam ketika Ia sedang terlelap
dalam tidurnya tiba-tiba suaminya yang pada mulanya tidak berada di rumah
membangunkannya dan mengajaknya berhubungan suami istri, namun Sanah yang
ketika itu sudah terlalu mengantuk dan lagi ia sedang dalam keadaan bunting
besar awalnya Ia menolak ajakan Tego. Tapi Tego seolah tak peduli akan hal itu,
Tego tetap mencumbu Sanah.
Keesokan paginya Sanah merasakan berbagai hal
yang ganjil. Tego, suaminya tak ada di ranjang, suasana pagi pun terasa berbeda
dengan suasana pagi yang biasa ia rasakan selepas mereka bercinta. Dalam kamar
yang tak terlalu luas itu, segalanya masih terlalu teratur jika memang tadi
malam terjadi pergulatan halus nan mesra dari Sanah dan Tego. perabotan tak ada
satupun yang bergeser barang sesenti pun, yang lebih mengejutkan lagi ketika
Sanah akan beranjak keluar kamar menuju kamar mandi ternyata pintu kamarnya
terkunci dari dalam. Secepat kilat ia langsung memeriksa jendela kamarnya
barang kali terbuka, namun nihil, jendelanya tertutup rapat dan terkunci.
Betapa linglung Sanah dibuat oleh peristiwa pagi ini, ia bingung dan
terheran-heran, bagaimana mungkin suaminya dapat masuk dan keluar kamar dengan
keadaan pintu dan jendela yang terkunci rapat karena seingatnya ia tak merasa
membukakan pintu dan menutupkan pintu untuk suaminya itu. Atau jangan-jangan
yang tadi malam hanyalah mimpi belaka, namun Sanah yakin bahwa yang semalam
bukanlah mimpi, semalam Ia benar-benar bercumbu dengan Tego, suaminya.
Seharian
penuh Sanah menahan diri untuk tidak mencari suaminya, Ia memilih untuk tetap
menunggunya. Namun hingga larut malam tak kunjung ada perkembangan, tak ada
tanda-tanda kehadiran suaminya di sekitar rumah. Pagi harinya Sanah mencoba
bertanya pada tetangga rumah tentang keberadaan suaminya, namun tak satupun
yang memberikan jawaban jelas banyak dari mereka hanya mengira-ira. Ia juga
sudah mencoba bertanya pada teman-teman Tego, namun sama saja tak terjawab
dengan jelas pertanyaannya.
Dua
hari, tiga hari Sanah masih sabar menantikan suaminya yang tanpa kabar, namun
setelah lima hari berselang kecemasan semakin menggrayangiya, Ia benar-benar
dirundung pilu juga rindu pada suaminya. Akhirnya Sanah memutuskan untuk
melaporkan tentang suaminya kepada kelurahan dengan harapan kelurahan dapat
membantu dalam pencarian Tego, suaminya.
Pihak
kelurahan yang dimintai tolong Sanah malah menyuruhnya utuk pergi ke tempat
Mbah Jarwo salah satu orang pintar yang terkenal di Desa Nganyaman,
“Mbak
Sanah tahu Mbah Jarwo yang tinggal di ujung desa yang rumahnya dekat sungai itu
? Coba Mbak Sanah pergilah dulu kesana minta ditrerawangkan Mbah Jarwo, dia kan
sakti Mbak.” Seloroh Bambang, pemuda tanggung yang merupakan Carik Desa
Nganyaman. Sanah yang merupakan satu diantara sedikit yang kurang percaya
terhadap hal-hal mistis tentu jengkel dengan usulan yang diberikan carik desa
tersebut. Menurutnya sungguh tidak realistis.
“Pak Bambang, saya ke sini bertujuan untuk meminta
tolong kelurahan agar mau melaporkan kejadian ini ke polisi bukan meminta
rekomendasi Bapak tentang Mbah Jarwo-Mbah Jarwo itu.” Ungkap Sanah dengan nada
pedas.
“Lagi pula di mana Pak Lurah
? Saya ingin langsung bertemu dengan beliau. Tolong pertemukan saya.” Lanjut
Sanah.
“Yah, itu kan hanya saran
saja Mbak, jika tidak mau diterima ya tidak masalah bagi saya. Toh bukan saya
yang kehilangan.” Ucap Bambang dengan santai yang semakin membuat Sanah
kebankaran jenggot hingga Ia langsung pergi meninggalkan kelurahan dan tak jadi
menemui Pak Lurah. Hari berikutnya Ia coba langsung menemui Pak Lurah di
rumahnya, Sanah berkunjung ke rumah Pak Lurah sehabis maghrib. Di sana Sanah
dijamu dengan baik, Lurah Desa Nganyaman memang terkenal dengan keramahannya,
santun dan memang berdedikasi untuk warganya. Laporan Sanah diterima Pak Lurah
dan Pak Lurah janji akan mengusahakan menghubungi Polisi segera.
Berhari-hari setelah laporan
Sanah tersebut, Pak Lurah menemui Sanah dirumahnya dan mengabarkan bahwa dari
pihak polisi sama sekali tak menggubris laporan Pak Lurah tersebut. Dari polisi
hanya mengiya-iyakan namun tanpa tindakan lebih lanjut. Datan ke Desa Nganyaman
saja sama sekali tidak. Memang akses Desa Nganyaman terbilang sulit karena jauh
dari kota dan sedikit tak dilirik pemerintah. Pembangunan di Desa Nganyaman
sungguhlah minim, jalanan rusak berlubang bahkan berlumpur, jembatan ala
kadarnya dan listrik yang bahkan tak seluruh warga bias menikmatinya.
Keresahan Sanah kini seakan
menjadi virus yang menyebar keseluruh warga. Terlebih ditambah cerita malam
terakhir antara Sanah dan Tego yang
misterius meyakinkan para warga bahwa Tego memang benar-benar bersama
makhluk-makhluk halus Gunung Kidang. Idealisme yang mulanya dipegang Sanah
bahwa ia tak percaya terhadap hal-hal ghaib mulai tergerus, Ia menjadi tak
percaya diri lagi. Ia merasa rapuh dan kehilangan arah. Celetukan-celetukan
warga yang semakin tak masuk akal membuatnya benar-benar kalut.
Atas
hal inilah Pak Lurah yang menganggap dirinya bertanggung jawab akan persaan
warganya maka membuat suatu pertemuan demi membahas masalah Tego tersebut.
Dalam pertemuan itu terjadilah perbincangan hangat mengenai solusi yang tepat
untuk kejadian Tego dan laporan-laporan dari warga sebagai barang bukti bahwa
Tego memang benar-benar masih berada di Desa Nganyaman.
“Ketika kemarin saya pergi ke alas, saya
melihat jejak kaki yang masih baru Pak Lurah. Saya sempat curiga Pak, tapi saya
terlalu takut untuk mengikuti jejak itu karena saya sendirian dan setelah itu
saya jadi tidak berani ke alas lagi.” Aku Paijo, salah satu warga Desa
Nganyaman.
“Saya
juga Pak, walaupun saya memang tidak bekerja di alas tapi sawah saya dekat
sekali dengan pintu alas. Saya benar-benar takut untuk menggarap tanah Pak.
Padahal harusnya minggu ini terselesaiakan.” Sambung Gito. Suasana semakin
gaduh akibat keresahan-keresahan itu.
Pak
Lurah yang berbadan tambun dalam stelan rapi dengan mengenakan atasan batik
lengan pendek dan celana hitam yang dipadukan dengan sendal ala kadarnya serta
rambut yang tak begitu tertata seperti biasanya menandakan kekalutan yang
dialaminya. Dalam dirinya pun merasa resah akibat kejadian ini. Ia menghela
napas berat mencoba menenangkan pikirannya dan mulai berargumen,
“Tenang
bapak-bapak dan ibu-ibu semua. Setelah mendengar beberapa hal yang telah disampaikan
tentu bisa kita tarik kesimpulan bahwa Tego memang masih berada disekitar desa
kita. Oleh karena itu mari kita cari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Apakah
dari bapak-bapak
dan ibu sekalian ada yang mempunyai solusi monggo disampaikan.”
“Ruwatan. Ya, desa kita
butuh di ruwat. Gunung Kidang kini telah menampakkan taringnya.” Ucap lelaki
tua yang memiliki jenggot putih memanjang dengan pakaian yang serba hitam
disertai ikat kepala hitam dan tanpa mengenakkan alas kaki. Dialah Mbah Jarwo yang
pernah disebut-sebut oleh carik desa beberapa hari lalu. Suaranya yang serak
dan berat membuat seluruh warga langsung terfokus padanya.
“Sudah dua minggu berlalu
sejak Tego menghilang, bahkan banyak pula kini kejadian-kejadian yang aneh
menimpa desa kita. Itu semua ulah jin di Gunung Kidang. Mereka meminta sesaji
dari kita yang menempati lerengnya.” Lanjut Mbah Jarwo.
“Minggu depan tepat pada
hari Jumat Kliwon, segera siapkan peralatan dan perlengkapan ritual. Agar kita
terbebas dari marabahaya lagi. Serta Tego segera kembali pada istrinya.” Tutup
Mbah Jarwo yang kemudian pergi meninggalkan kelurahan.
***
Tepat Jumat Kliwon ritual
yang dikatakan oleh Mbah Jarwo dilaksanakan. Berbagai sesaji Nampak menghiasi
ritual tersebut. Ada sekaten yang berisikan sayur-sayuran dan buah-buahan,
sepasang pengantin yang terbuat dari ketan dengan kepala yang dilukis mirip
pengantin sungguhan, kembang tujuh rupa, kelapa muda, berbagai umbi-umbian dan
yang lainnya.
Mbah Jarwo menjadi pemimpin
ritual tersebut, tidak seperti biasanya penampilan Mbah Jarwo yang selalu serba
hitam kali ini Ia memakai pakaian serba putih namun tetap tak beralas kaki.
Seluruh warga pun menggunakan pakaian adat jawa zaman dulu.
Sesaji-sesaji tersebut
diarak warga menuju pintu alas yang merupakan jalan menuju Gunung Kidang. Di
sana sesaji ditempatkan di sekitar pohon beringin kembar yang umurnya sudah
mencapai ratusan tahun. Pohon kembar tersebut terletak tepat di mulut alas dan
berada bersisihan seakan-akan pohon kembar tersebut adalah gerbang menuju
Gunung Kidang.
Beberapa hari setelah
ritual, Pak Lurah memerintahkan seluruh warga yang berjenis kelamin laki-laki
untuk menyebar masuk ke dalam alas mencari Tego. Tiga hari hal ini dilakukan
para warga namun tak mendapatkan hasil apapun. Tego tak diketemukan.
Jejak-jejak misterius dan bayangan sesosok pemuda yang sedang berlari-lari kini
sudah tak nampak lagi. Akhirnya warga desa pun menyerah dan membujuk Sanah
untuk mengikhlaskan Tego.
Sanah yang dirundung pilu
dan kalut selama berninggu-minggu itu sampai tak sempat memerhatikan
kesehatannya, tubuhnya makin melemas, kandungannya pun makin melemah. Dua
minggu setelah ritual Sanah mengalami pendarahan hebat dan terpaksa harus
melahirkan bayinya dengan premature. Tepat saat kelahiran bayinya sekelompok
pencinta alam dari kota yang mendaki Gunung Kidang melaporkan menemukan sesosok
mayat tanpa identitas di jurang. Menurut polisi mayat tersebut diperkirakan
meninggal sekitar dua mingguan yang lalu. di duga koraban meninggal karena
jatuh ke jurang karena tak terdapat tanda-tanda lain seperti gigitan hewan buas
atau lainnya. Korban ditemukan dalam possisi seakan-akan melindungi tangannya,
ketika diperiksa ternyata ditangan korban terdapat tangkai bunga edelweys.
Penemuan mayat oleh
sekelompok pecinta alam ini sampai di telinga warga Desa Nganyaman, setelah
para warga berbondong-bondong menuju TKP
dan melihatnya secara langsung, ternyata benarlah bahwa mayat tersebut
adalah Tego yang telah menhilang berminggu-minggu lamanya.
Sanah yang mendengar hal
tersebut lansung terkejut dan tak sadarkan diri. Beberapa kali Sanah tak
sadarkan diri masih belum terjadi pada apa yang menimpa dirinya.
Setelah melalui berbagai
pemeriksaan dan visum, mayat tego pun di kebumikan di tanah makam Desa
Nganyaman. Sanah sangat berusaha ikhlas dan bertekad akan membesarkan anaknya
dengan baik. Tego memang telah ditemukan namun misteri dibalik menghilangnya
Tego masih belum terpecahkan.
***
“Mas,
aku pengin bunga.” Ucap Sanah manja pada Tego.
“Bunga
apa ? bunga bank ?” jawab Tego becanda
“Ih,
serius mas. Petikin aku bunga edelweys ya, itu kan katanya lambang cinta abadi.
Ya ya ya.” Ungkap Sanah memanja.
“Ini
dedeknya lho yang minta.” Sambung Sanah lagi. Namun hanya dijawab Tego dengan
senyuman.
SELESAI
-iweddewi-