Surat Bisu

Kepada yang telah lama singgah,















Sekian.
Maaf bila ada sunyi yang sulit kau maknai.

Salam hangat dari otak yang membeku, pikiran yang telah ngelu dan aksara yang kemudian kelu.

Tertanda,
Aku yang berkepala batu

#30HariMenulisSuratCinta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kepada Para Pembeda

Kepada pembeda,

Sebelumnya, aku harap kita sedang dalam masa yang baik-baik saja. Aku hanya ingin kita sama-sama sependapat tentang suatu hal.

Begini, kita telah sama-sama tumbuh menuju utuh bukan ? Kita telah sama-sama meniti akar yang menjelma batang sampai tinggal menunggu tumbuhnya kembang. Kita juga sudah tak lagi dalam pot yang sama. Kita menjadi hebat dengan pot yang sendiri-sendiri.
Tukang kebun itu telah begitu khatam dengan berbagai jenis tumbuhan.

Tapi kenapa kamu malah menggerutu, mengomentari ini itu dan menebarkan sendu. Kamu rancu pada duriku dan mengira aku mendungu.

Ah ! Kamu !

Kamu telah begitu memesona namun juga banyak beretorika.

Apa sulitnya mengiyakan apa-apa, toh telah sama-sama dewasa.

Bila memang tak serupa mengapa tak biarkan saja aku menggila bila memang gila. Atau setidaknya jangan berkomentar apapun karena terkadang diam lebih bisa diterima sebagai bentuk penghargaan daripada berkoar yang kemudian hanya akan mencemar.
Bukan, bukan maksud tak bisa terima kritik yang menggelitik. Tapi kamu pun harusnya tahu bahwa meski memiliki pola yang sama, untuk menuju suatu tempat kita bisa melalui jalan manapun. Dan sekarang, jalan kita berbeda. Jalur kita tak sama. Maka proses kita pun jelas tak serupa. Lalu apalagi yang kau dustakan dari kejelasan ini ? Tidak bisakah kita hanya menyemangati satu sama lain ? Mendukung satu sama lain ? Saling mengucap doa untuk satu sama lainnya ?

Telapakku meregan butuh pegangan. Masihkah bisa kita saling bergandeng tangan ?

Tertanda,
Pembalikanmu

#30HariMenulisSuratCinta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Tuhan, Mari Ber-nego

Kepada Tuhan yang Maha Menyatukan.

Aku tidak begitu mengerti tentang cinta yang kadaluarsa, yang aku tahu aku sudah begitu merasa sempurna. Mungkin aku terlalu sombong hingga mengabaikan pelik yang pasti terjadi.

Menjadi yang paling kecil diantara yang telah dewasa, aku menjalani semuanya secara santai bahkan mungkin cenderung abai; aku mengaminkan itu. Tapi selayaknya kecil yang cenderung labil, aku menganggap segalanya tak ada cacat. Aku mengagungkan milikku tanpa (mungkin) tahu bahwa terdapat pilu.

Sempat memang aku merasa terbelah karena nyatanya bukan hanya satu kepala. Tapi ya begitu saja, aku rasa wajar. Isi kepala kan memang sejatinya tak selalu sama satu dengan lainnya. Namun malam tadi aku merasa bukan lagi terbelah; wajar-wajar yang kubiarkan ternyata menjelma bom besar yang siap meledakkan aku. Aku terendam pilu semalaman.

Pondasi yang kusangka kokoh ternyata telah terdapati celah di mana-mana. Temboknya retak, atapnya bocor, kusennya keropos.
Aku dengar terdapat rayap yang tidak kuketahui namanya telah menggerogotinya. Aku tak tahu benar bagaimana rayap itu datang, tapi yang aku dengar lagi katanya ia diundang. Ah bangsat ! ; Tuhan, maafkan bila aku berujar kasar.

Hujan pilu telah mengguyurku tanpa ba-bi-bu. Terlebih seharian ini aku merasa ditampar media yang mewartakan pelbagai hal tentang yang ku takutkan.

Tuhan, apa begitu salah bila aku merasa hebat ? Setidaknya aku tak merasa hebat atas diriku. Aku hebat karena pondasi, atap serta kusen yang serupa pelukanMu; tebal dan kekal. Aku merasa ada karena mereka sempurna.

Tuhan, bisakah kita bernego ? Aku tak siap bila harus berujung pada porak poranda. Maka, bisakah Kau mematikan rayapnya ? Kau kan yang paling Mahakuasa. Atau bila tidak bisa, biar aku saja yang mematikannya, tapi jangan Kau suruh Atid mencatatnya sebagai dosa. Bagaimana ?
Setidaknya bila rayap itu telah mati aku dapat menambalnya meski tetap meninggalkan belang.

Rasanya belang akan lebih baik dari pada terkurang.

Ah ! Mungkin warasku mulai tak nyaman Tuhan. Maafkan. Aku sesak mendapati tamanku tak lagi berkambang, ia telah begitu gersang. Dapatkah Kau suburkannya kembali ? Biar kembang dan kumbang bisa saling bahagia lagi. Bisakah ? Tolong.

Kepada Tuhan yang Maha Menyatukan, sekali lagi aku meminta maaf. Aku tak bermaksud berburuk sangka atas takdir atau nasib yang Kau berikan. Aku hanya sedang dilanda cemas.

Tuhan, terima kasih atas Kuasamu yang tak ada habisnya.

Tertanda

Anak yang sayang pada Ibu Bapaknya
Pojokan kamar, 5 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Punggung dan Rambut Kapten

Kepada kapten yang kemudian kukenal sebagai kamu.

Jatuh cinta memang tak pernah mengenal apa. Begitu yang pernah aku dengar dan kuiyakan berikutnya.
Pada bilik kecil yang hanya muat meja dan beberapa kursi plastik dengan satu set komputer dan beberapa buku yang menjubal paksa kamu sebut itu sebagai bengkel kerjamu. Kamu ingat ? Aku ingat hari itu kamu duduk disalah satu kursi plastik sambil memainkan mouse komputer, menjelaskan ini itu dengan begitu tenang.

Aku ingat, sangat ingat setelan kemeja hitam yang kamu kenakan hari itu. Aku pun ingat, sangat ingat jam tangan hitam yang kamu pakai hari itu. Dan aku ingat, sangat ingat betapa hanya punggung dan rambutmu saja yang dapat aku lihat hari itu. Wajahmu ? Jangan tanyakan; kamu duduk dan ruangan itu penuh sesak, aku ? Berdiri di ujung dekat pintu.

Perlu kupertegas lagi bahwa jatuh cinta memang tak pernah mengenal apa. Dan begitulah aku yang kemudian jatuh cinta hanya dengan punggung dan rambutmu. Ah tidak, tidak hanya punggung dan rambutmu saja tapi juga dengan suaramu. Iya suaramu yang begitu tegas namun halus. Kamu pernah dengar bahwa ada suara yang dapat meneduhkan terik dan menenangkan badai ? Maka itu kamu; suaramu.

Pertemuan yang begitu singkat itu tentu tak mampu menghadirkan cinta, namun cukup kuat menjatuhkan aku kebibir cinta.

Kepada kapten yang kemudian kukenal sebagai kamu. Mungkin ini terlalu kekanak-kanakan bagimu, tapi aku sungguh menjelma anak-anak yang begitu girang saat diberikan hadiah. Dan punggung serta rambutmu adalah hadiahnya yang Tuhan berikan padaku hari itu.

Kepada kapten yang kemudian kukenal sebagai kamu. Berbaliklah. Sejak hari itu hingga hari ini kamu selalu menjatuhkan aku pada punggung dan rambutmu. Aku lelah pun jengah. Kita tak lagi berada pada bilik yang penuh sesak bukan ?

Aku hanya ingin kita sama-sama menyambut. Itu saja.

Tertanda

Yang telah begitu jatuh padamu

#30HariMenulisSuratCinta
#ForTheFirstTimeInForever
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Perempuan Kecil dan Kacamata Retak

Kepada yang tak pernah redup.
Harus bagaimana lagi aku mengemudikan rasa ? Aku hanya seorang perempuan kecil yang terselip dalam kerumunan masa kini. Apalah aku bagimu yang sudah mahir menyelam tanpa takut tenggelam. Mana bisa, kau terlalu lihai.

Pada detik di mana aku mulai membatasi, kau makin menjadi dengan menjelma terik. Tabahku rontok dan cahayamu terlalu silau hingga kacamataku retak. Namun bisa apa aku selain memanjat ampun pada Gusti yang menjadikanmu ada ? Bila bisa, kuinginkan Ia benar memelukmu melalui kepak malaikat, atau sebaliknya biar saja aku yang berteman dengan malaikat agar bisa kupinjam sayapnya.
Maaf, mungkin aku berlebihan. Tapi kacamataku benar retak meski tak kau mengerti. Ketidaktahuanmu itu membuat kacamataku makin retak. Aku diserang gemas sampai cemas karena kau tetap diam dan enggan merampas apa yang sudah kukemas hingga lemas.

Aku menggigil meratapi kacamataku yang retak. Bila sudah begini dan makin begini, bagaimana bisa aku menatap tajam pada masa lain yang bisa melepaskan aku dari hal yang mencekam kala pandanganku kian memburam ?

Aku hanya perempuan kecil yang kian mengerak dengan kacamata retak. Tanpa pandangan aku hanya memiliki kenangan; aku jatuh cinta pada caraku jatuh cinta saat kau menghujaniku dengan silau yang bertubi-tubi. Namun apalah aku bagimu.

Haruskah aku memusnahkan yang seharusnya hingga yang mengganjal tak lagi menjadi ganjalan, hingga yang menghalangi tak lagi menjadi penghalang, hingga yang menyelip tak lagi menjadi selipan sampai yang mengharap tak lagi menjadi sekadar pengharap ? Haruskah itu ? Bisakah aku merumuskan ulang tentang itu ? Entah, aku tak menjanjikannya padamu. Biar Gusti, malaikat dan alam yang mendiskusikannya. Kelak bila Gusti, malaikat dan alam telah sepakat, mungkin kacamataku bukan lagi sekadar retak tapi telah berupa kepingan, dan kamu dengan begitu ikhlasnya menggenggam tanganku untuk menuntunku pada pelukanmu. Maka, apalah aku bagimu tak lagi berarti sama karena telah memiliki jawaban yang sempurna.
Kau akan bersiap-siap dan aku hanya perlu memunguti tabah setiap hari hingga menjadi lebih tabah dari sebelumnya.

Semoga kau mengerti atau bila tidak biarlah tetap begitu. Aku harap kau tak lupa untuk minum vitamin. Jaga kesehatanmu selalu.

Tertanda

Pengenangmu
Sudut Jakarta, 3 Februari 2015


#30HariMenulisSuratCinta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

(bukan) Perempuanmu

Dear kamu, selamat hari senin. Senin pertama di februari masih basah selepas hujan seharian kemarin minggu, dan sejauh ini aku masih menunggu serta mencari tahu; bagaimana dan untuk apa serta pantaskah aku mengabarkanmu bahwa kita berada di tempat yang sama meski pada sudut yang berbeda.
Di tempat ini, di sudut kota ini selalu ada kamu dalam salah satu alasanku menempuh beratus mil aspal jalanan.
Kamu ingat setahun yang lalu aku pernah mengabarkan secara tiba-tiba bahwa aku ada di kota ini tepat setelah ulang tahunmu ? Tapi sudahlah lupakan saja, aku tak ingin mengorek sakitku sebab sakit sendirian itu sungguh tak menyenangkan meski sebelumnya sempat ada debar yang menggelisahkan.
Kamu, bagaimana kabarmu dan perempuanmu ? Masih pada bahagia yang samakah ? Atau lebih bahagia lagi ? Ah semoga saja demikian. Aku turut berbahagia meski teman-temanku sepertinya turut berduka atas bahagiaku yang semu karena kamu berbahagia dengan perempuanmu. Begitulah teman-temanku yang tak pernah sependapat denganku bila menyangkut kamu. Mereka bilang aku terlalu kuat menyimpan cinta sendirian hingga terlarut dan beringsut lupa caranya mengetaskan cinta yang baru.
Tapi beginilah caraku mencintai hidup; mencintai kamu.
Kamu memang serupa kehidupan, sama-sama memberiku kebahagiaan pula kesedihan yang bersamaan. Sama-sama mengajariku tentang ketabahan. Sama-sama mengajariku tentang keikhlasan.
Kamu, bagaimana kabar mimpimu ? Mimpi yang dulu pernah kamu bagi denganku pada setiap malam yang mencumbui bulan.
Yang perlu kamu tahu, setiap semoga yang kamu bagikan denganku melalui gagang telepon yang kini kurindukan deringnya selalu kusambut dengan aamiin yang kemudian kusampaikan pada Tuhan dengan begitu khusyuk.
Sudahkah Tuhan mengiyakan pintalan harapanmu yang pernah kita rajut bersama ? Jika iya, aku turut berbahagia.
Selalu begitu, apa yang tidak membahagiakan bila itu tentang kamu. Apa yang tidak melekat bila itu tentang kamu; tentang reggae, tentang punkrock, tentang megono dirintik hujan, tentang ban bocor, tentang kembang api, tentang tahun baru, tentang band pinggir jalan, tentang... ah sudahlah, begitu banyak tentang menyangkut kamu yang meski dipaksa lupa tetap terkenang.
Selamat hari senin, tetaplah sehat dan berbahagia ya kamu.

Tertanda,
Aku (bukan) perempuanmu.

Sudut Jakarta, 2 Februari 2015

#30HariMenulisSuratCinta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS