TEGO -Dewi Ratnasari-




Apa yang kau ketahui belum tentu dapat kau pahami, terlebih untuk dimengerti.
--
            “Kata Joko, maghrib tadi ia melihat ada yang lari ke arah alas milik Mbah Ngasidi, Pak Lurah. Mungkin itu Tego.” Ujar Tanto, salah satu hansip Desa Nganyaman.
Kehebohan kini tengah menjalar di seluruh pelosok Desa Nganyaman. Desa yang terletek di lereng Gunung Kidang ini digemparkan oleh kabar bahwa salah satu pemudanya menghilang kaena sesuatu yang berhubungan dengan hal makhluk halus. Desa Nganyaman memanglah masih kental akan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat mistis. Seluruh warga sebagian besar masih memegang erat kepercayaan nenek moyang tersebut.
Tego, pemuda yang dikabarkan menghilang tersebut membuat resah masyarakat Desa Nganyaman karena ia tak hanya sekadar tanpa kabar, namun banyak saksi yang mengatakan bahwa tak jarang mereka melihat sesosok pemuda yang berlari-lari seolah dalam kejaran ke arah alas. Hal ini menimbulkan banyak persepsi yang muncul dari warga seperti, Tego sebenarnya tidak menghilang  Ia tetap berada di Desa Nganyaman tetapi kini Ia menetap di alas karena suruhan makhluk halus. Pesepsi lain mengatakan bahwa Tego kini menjadi frustasi karena pesugihannya gagal sebab Ia melanggar pantangan-pantangan dan kemudian Ia kini dikejar-kejar makhluk halus karena mereka yang tak terima dengan ulah Tego. Versi lain lagi mengatakan bahwa Tego yang memang merupakan pemuda dengan paras tampan ini ditaksir oleh jin penguasa Gunung Kidang, maka Ia dibuat agar meninggalkan dunia nyatanya agar dapat bersanding dengan jin penguasa Gunung Kidang. Hingga berkembanglah cerita mengenai Tego ini dalam banyak versi dan seluruhnya tak jauh dari hal ghaib.

 ***

Hati istri mana yang tak kalang kabut bila ditinggal suami tanpa kabar dan berita dalam keadaan bunting besar. Begitulah yang sedang dialami Sanah, perempuan yang baru delapan bulan lalu disunting oleh Tego, pemuda tampan namun serabutan tak jelas pekerjaannya.
Sanah merupakan salah satu kembang desa yang banyak digandrungi pemuda-pemuda bahkan sampai desa seberang. Ia memiliki kecantikan yang alami, matanya indah dengan bulu mata melengkung sempurna, rambutnya menggelombang panjang bagai tempat bergelantungan para malaikat, kulitnya putih bersih tak kalah dengan kulit bintang teve yang sering menjamah salon, tubuhnya ramping dan tinggi semampai serupa model kelas internasional.
Meskipun banyak yang menginginkannya untuk dijadikan istri namun hatinya hanyalah tertambat pada satu pemuda yang pekerja keras meskipun pekerjaannya kurang jelas, ia hanyalah seorang serabutan, tak pernah mengenyam bangku sekolah bahkan baca tulis pun tak bisa. Namun menurut Sanah pemuda itu sempurna dengan ketidasempurnaannya. Terlebih lagi Ia adalah pemuda tampan dengan alis tebal dan garis rahang yang tegas. Begitulah Tego dimata Sanah si kembang desa. Cukup lama mereka berdua memadu kasih hingga pada akhirnya tepat pada purnama bulan suro mereka mereka resmi menjadi sepasang yang memiliki legalitas dari negara yang tercetak dalam bentuk buku pernikahan.
Dalam kurun waktu setahun mereka menjadi pasangan legal tak pernah sekalipun mereka cekcok besar. Keadaan seolah mendukung mereka untuk selalu berbahagia. Kehidupan mereka berjalan normal. Hingga tiba Sanah mengandung kebahagiaan mereka semakin bertambah. Sanah semakin merasa dicintai oleh Tego, apapun keinginan ngidam Sanah akan dipenuhi oleh Tego. Namun hal indah itu hanya berlangsung sekjap saja. Kini sudah seminggu suaminya tanpa kabar. Terakhir kali Sanah bertemu suaminya adalah saat kamis malam ketika Ia sedang terlelap dalam tidurnya tiba-tiba suaminya yang pada mulanya tidak berada di rumah membangunkannya dan mengajaknya berhubungan suami istri, namun Sanah yang ketika itu sudah terlalu mengantuk dan lagi ia sedang dalam keadaan bunting besar awalnya Ia menolak ajakan Tego. Tapi Tego seolah tak peduli akan hal itu, Tego tetap mencumbu Sanah.
 Keesokan paginya Sanah merasakan berbagai hal yang ganjil. Tego, suaminya tak ada di ranjang, suasana pagi pun terasa berbeda dengan suasana pagi yang biasa ia rasakan selepas mereka bercinta. Dalam kamar yang tak terlalu luas itu, segalanya masih terlalu teratur jika memang tadi malam terjadi pergulatan halus nan mesra dari Sanah dan Tego. perabotan tak ada satupun yang bergeser barang sesenti pun, yang lebih mengejutkan lagi ketika Sanah akan beranjak keluar kamar menuju kamar mandi ternyata pintu kamarnya terkunci dari dalam. Secepat kilat ia langsung memeriksa jendela kamarnya barang kali terbuka, namun nihil, jendelanya tertutup rapat dan terkunci. Betapa linglung Sanah dibuat oleh peristiwa pagi ini, ia bingung dan terheran-heran, bagaimana mungkin suaminya dapat masuk dan keluar kamar dengan keadaan pintu dan jendela yang terkunci rapat karena seingatnya ia tak merasa membukakan pintu dan menutupkan pintu untuk suaminya itu. Atau jangan-jangan yang tadi malam hanyalah mimpi belaka, namun Sanah yakin bahwa yang semalam bukanlah mimpi, semalam Ia benar-benar bercumbu dengan Tego, suaminya.
Seharian penuh Sanah menahan diri untuk tidak mencari suaminya, Ia memilih untuk tetap menunggunya. Namun hingga larut malam tak kunjung ada perkembangan, tak ada tanda-tanda kehadiran suaminya di sekitar rumah. Pagi harinya Sanah mencoba bertanya pada tetangga rumah tentang keberadaan suaminya, namun tak satupun yang memberikan jawaban jelas banyak dari mereka hanya mengira-ira. Ia juga sudah mencoba bertanya pada teman-teman Tego, namun sama saja tak terjawab dengan jelas pertanyaannya.
Dua hari, tiga hari Sanah masih sabar menantikan suaminya yang tanpa kabar, namun setelah lima hari berselang kecemasan semakin menggrayangiya, Ia benar-benar dirundung pilu juga rindu pada suaminya. Akhirnya Sanah memutuskan untuk melaporkan tentang suaminya kepada kelurahan dengan harapan kelurahan dapat membantu dalam pencarian Tego, suaminya.
Pihak kelurahan yang dimintai tolong Sanah malah menyuruhnya utuk pergi ke tempat Mbah Jarwo salah satu orang pintar yang terkenal di Desa Nganyaman,
“Mbak Sanah tahu Mbah Jarwo yang tinggal di ujung desa yang rumahnya dekat sungai itu ? Coba Mbak Sanah pergilah dulu kesana minta ditrerawangkan Mbah Jarwo, dia kan sakti Mbak.” Seloroh Bambang, pemuda tanggung yang merupakan Carik Desa Nganyaman. Sanah yang merupakan satu diantara sedikit yang kurang percaya terhadap hal-hal mistis tentu jengkel dengan usulan yang diberikan carik desa tersebut. Menurutnya sungguh tidak realistis.
Pak Bambang, saya ke sini bertujuan untuk meminta tolong kelurahan agar mau melaporkan kejadian ini ke polisi bukan meminta rekomendasi Bapak tentang Mbah Jarwo-Mbah Jarwo itu.” Ungkap Sanah dengan nada pedas.
“Lagi pula di mana Pak Lurah ? Saya ingin langsung bertemu dengan beliau. Tolong pertemukan saya.” Lanjut Sanah.
“Yah, itu kan hanya saran saja Mbak, jika tidak mau diterima ya tidak masalah bagi saya. Toh bukan saya yang kehilangan.” Ucap Bambang dengan santai yang semakin membuat Sanah kebankaran jenggot hingga Ia langsung pergi meninggalkan kelurahan dan tak jadi menemui Pak Lurah. Hari berikutnya Ia coba langsung menemui Pak Lurah di rumahnya, Sanah berkunjung ke rumah Pak Lurah sehabis maghrib. Di sana Sanah dijamu dengan baik, Lurah Desa Nganyaman memang terkenal dengan keramahannya, santun dan memang berdedikasi untuk warganya. Laporan Sanah diterima Pak Lurah dan Pak Lurah janji akan mengusahakan menghubungi Polisi segera.
Berhari-hari setelah laporan Sanah tersebut, Pak Lurah menemui Sanah dirumahnya dan mengabarkan bahwa dari pihak polisi sama sekali tak menggubris laporan Pak Lurah tersebut. Dari polisi hanya mengiya-iyakan namun tanpa tindakan lebih lanjut. Datan ke Desa Nganyaman saja sama sekali tidak. Memang akses Desa Nganyaman terbilang sulit karena jauh dari kota dan sedikit tak dilirik pemerintah. Pembangunan di Desa Nganyaman sungguhlah minim, jalanan rusak berlubang bahkan berlumpur, jembatan ala kadarnya dan listrik yang bahkan tak seluruh warga bias menikmatinya.
Keresahan Sanah kini seakan menjadi virus yang menyebar keseluruh warga. Terlebih ditambah cerita malam terakhir  antara Sanah dan Tego yang misterius meyakinkan para warga bahwa Tego memang benar-benar bersama makhluk-makhluk halus Gunung Kidang. Idealisme yang mulanya dipegang Sanah bahwa ia tak percaya terhadap hal-hal ghaib mulai tergerus, Ia menjadi tak percaya diri lagi. Ia merasa rapuh dan kehilangan arah. Celetukan-celetukan warga yang semakin tak masuk akal membuatnya benar-benar kalut.
Atas hal inilah Pak Lurah yang menganggap dirinya bertanggung jawab akan persaan warganya maka membuat suatu pertemuan demi membahas masalah Tego tersebut. Dalam pertemuan itu terjadilah perbincangan hangat mengenai solusi yang tepat untuk kejadian Tego dan laporan-laporan dari warga sebagai barang bukti bahwa Tego memang benar-benar masih berada di Desa Nganyaman.
 “Ketika kemarin saya pergi ke alas, saya melihat jejak kaki yang masih baru Pak Lurah. Saya sempat curiga Pak, tapi saya terlalu takut untuk mengikuti jejak itu karena saya sendirian dan setelah itu saya jadi tidak berani ke alas lagi.” Aku Paijo, salah satu warga Desa Nganyaman.
“Saya juga Pak, walaupun saya memang tidak bekerja di alas tapi sawah saya dekat sekali dengan pintu alas. Saya benar-benar takut untuk menggarap tanah Pak. Padahal harusnya minggu ini terselesaiakan.” Sambung Gito. Suasana semakin gaduh akibat keresahan-keresahan itu.
Pak Lurah yang berbadan tambun dalam stelan rapi dengan mengenakan atasan batik lengan pendek dan celana hitam yang dipadukan dengan sendal ala kadarnya serta rambut yang tak begitu tertata seperti biasanya menandakan kekalutan yang dialaminya. Dalam dirinya pun merasa resah akibat kejadian ini. Ia menghela napas berat mencoba menenangkan pikirannya dan mulai berargumen,
“Tenang bapak-bapak dan ibu-ibu semua. Setelah mendengar beberapa hal yang telah disampaikan tentu bisa kita tarik kesimpulan bahwa Tego memang masih berada disekitar desa kita. Oleh karena itu mari kita cari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Apakah dari bapak-bapak dan ibu sekalian ada yang mempunyai solusi monggo disampaikan.”
“Ruwatan. Ya, desa kita butuh di ruwat. Gunung Kidang kini telah menampakkan taringnya.” Ucap lelaki tua yang memiliki jenggot putih memanjang dengan pakaian yang serba hitam disertai ikat kepala hitam dan tanpa mengenakkan alas kaki. Dialah Mbah Jarwo yang pernah disebut-sebut oleh carik desa beberapa hari lalu. Suaranya yang serak dan berat membuat seluruh warga langsung terfokus padanya.
“Sudah dua minggu berlalu sejak Tego menghilang, bahkan banyak pula kini kejadian-kejadian yang aneh menimpa desa kita. Itu semua ulah jin di Gunung Kidang. Mereka meminta sesaji dari kita yang menempati lerengnya.” Lanjut Mbah Jarwo.
“Minggu depan tepat pada hari Jumat Kliwon, segera siapkan peralatan dan perlengkapan ritual. Agar kita terbebas dari marabahaya lagi. Serta Tego segera kembali pada istrinya.” Tutup Mbah Jarwo yang kemudian pergi meninggalkan kelurahan.

***

Tepat Jumat Kliwon ritual yang dikatakan oleh Mbah Jarwo dilaksanakan. Berbagai sesaji Nampak menghiasi ritual tersebut. Ada sekaten yang berisikan sayur-sayuran dan buah-buahan, sepasang pengantin yang terbuat dari ketan dengan kepala yang dilukis mirip pengantin sungguhan, kembang tujuh rupa, kelapa muda, berbagai umbi-umbian dan yang lainnya.
Mbah Jarwo menjadi pemimpin ritual tersebut, tidak seperti biasanya penampilan Mbah Jarwo yang selalu serba hitam kali ini Ia memakai pakaian serba putih namun tetap tak beralas kaki. Seluruh warga pun menggunakan pakaian adat jawa zaman dulu.
Sesaji-sesaji tersebut diarak warga menuju pintu alas yang merupakan jalan menuju Gunung Kidang. Di sana sesaji ditempatkan di sekitar pohon beringin kembar yang umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Pohon kembar tersebut terletak tepat di mulut alas dan berada bersisihan seakan-akan pohon kembar tersebut adalah gerbang menuju Gunung Kidang.
Beberapa hari setelah ritual, Pak Lurah memerintahkan seluruh warga yang berjenis kelamin laki-laki untuk menyebar masuk ke dalam alas mencari Tego. Tiga hari hal ini dilakukan para warga namun tak mendapatkan hasil apapun. Tego tak diketemukan. Jejak-jejak misterius dan bayangan sesosok pemuda yang sedang berlari-lari kini sudah tak nampak lagi. Akhirnya warga desa pun menyerah dan membujuk Sanah untuk mengikhlaskan Tego.
Sanah yang dirundung pilu dan kalut selama berninggu-minggu itu sampai tak sempat memerhatikan kesehatannya, tubuhnya makin melemas, kandungannya pun makin melemah. Dua minggu setelah ritual Sanah mengalami pendarahan hebat dan terpaksa harus melahirkan bayinya dengan premature. Tepat saat kelahiran bayinya sekelompok pencinta alam dari kota yang mendaki Gunung Kidang melaporkan menemukan sesosok mayat tanpa identitas di jurang. Menurut polisi mayat tersebut diperkirakan meninggal sekitar dua mingguan yang lalu. di duga koraban meninggal karena jatuh ke jurang karena tak terdapat tanda-tanda lain seperti gigitan hewan buas atau lainnya. Korban ditemukan dalam possisi seakan-akan melindungi tangannya, ketika diperiksa ternyata ditangan korban terdapat tangkai bunga edelweys.
Penemuan mayat oleh sekelompok pecinta alam ini sampai di telinga warga Desa Nganyaman, setelah para warga berbondong-bondong menuju TKP  dan melihatnya secara langsung, ternyata benarlah bahwa mayat tersebut adalah Tego yang telah menhilang berminggu-minggu lamanya.
Sanah yang mendengar hal tersebut lansung terkejut dan tak sadarkan diri. Beberapa kali Sanah tak sadarkan diri masih belum terjadi pada apa yang menimpa dirinya.
Setelah melalui berbagai pemeriksaan dan visum, mayat tego pun di kebumikan di tanah makam Desa Nganyaman. Sanah sangat berusaha ikhlas dan bertekad akan membesarkan anaknya dengan baik. Tego memang telah ditemukan namun misteri dibalik menghilangnya Tego masih belum terpecahkan.

***
            “Mas, aku pengin bunga.” Ucap Sanah manja pada Tego.
            “Bunga apa ? bunga bank ?” jawab Tego becanda
            “Ih, serius mas. Petikin aku bunga edelweys ya, itu kan katanya lambang cinta abadi. Ya ya ya.” Ungkap Sanah memanja.
            “Ini dedeknya lho yang minta.” Sambung Sanah lagi. Namun hanya dijawab Tego dengan senyuman.

SELESAI
-iweddewi-
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

1 Response to "TEGO -Dewi Ratnasari-"

  1. Unknown says:
    28 Desember 2014 pukul 15.48

    Ceritanya bagus mbak. Mengisahkan sesuatu yang kejawen. Memberikan pilihan kepada pembaca untuk percaya ato tidak kepada hal mistis. Itu dialog yg terakhir menggambarkan Sanah yg sedang gila atau menceritakan permintaan Sanah sebelum Tego meninggal? Mohon pencerahannya. :)

    Mengenai desain blog, alangkah baik sidebar ada di kanan sedangkan isi berada di sisi kiri.

Posting Komentar